Jakarta -Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengkritik kebijakan pemerintah soal kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terjadi 2 kali selama Maret 2015. Sejak awal 2015, pemerintah mencabut subsidi BBM premium dan menetapkan subsidi tetap Rp 1.000/liter untuk solar, namun sosialiasi terhadap kebijakan ini minim.
Mulai 28 Maret, di Luar Jawa, Madura, Bali harga premium naik menjadi Rp 7.300 dari semula Rp 6.800 per liter dan solar menjadi Rp 6.900 semula Rp 6.400 per liter. Sementara di wilayah Jawa, Madura, dan Bali kenaikan harga premium ditetapkan Rp 7.400 per liter.
Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika menyebutkan, kenaikan harga BBM saat ini dinilai tidak tepat. Pemerintah tidak mempertimbangkan kenaikanharga barang-barang lainnya juga naik.
"Saat ini pemerintah tidak mempertimbangkan kepentingan rakyat, harga-harga naik kok tiba-tiba BBM dinaikkan, elpiji, listrik, berlomba-lomba naikkan harga, itu bukan solusi, tidak mikir, jadi harus mempertimbangkan," ujar Kardaya dalam diskusi Energi Kita di Restoran Bumbu Desa, Cikini, Jakarta, Minggu (29/3/2015).
Mantan Dirjen Energi Baru Terbarukan ESDM yang juga Mantan Kepala BP Migas itu mengungkapkan, pemerintah mestinya mulai sadar bahwa ada beberapa hal terkait kebijakan BBM yang tidak boleh diabaikan atau dilanggar, yaitu harus mempertimbangkan kepentingan rakyat.
"Di negara mana pun karena BBM komoditi hajat hidup orang banyak, pertimbangkan rakyat ini karena kepentingan rakyat, jadi harus transparan dan dan juga kepada wakilnya di DPR," ucapnya.
Pemerintah, kata Kardaya, harus tegas dalam menetapkan kebijakan harga BBM. Transparan menjadi hal yang harus diutamakan.
"Kebijakan BBM khususnya dan energi umumnya, itu harus konsisten dan tidak mencla-mencle. Pemerintah tidak transparan. Premium biaya harga keekonomian Rp 8.000, tapi pemerintah menetapkan Rp 7.400, selisihnya siapa yang nanggung. Hitung-hitung premium dari mana nombokinnya, perlu didiskusikan ke DPR, ditulis emas, mestinya transparan," tandasnya.
Sementara itu, pemerhati Kebijakan Publik Agus Pambagyo mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menyerahkan harga BBM mengikuti mekanisme pasar mengibaratkan seperti kebijakan harga produk 'sarung' naik-turun.
Kebijakan ini dianggap membingungkan masyarakat karena harga BBM bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu.
"Kebijakan harga BBM yang naik turun mengikuti kebijakan harga sarung, bisa naik bisa merosot," kata Agus di acara yang sama.
Menurutnya, kebijakan naik-turunnya harga BBM mengikuti mekanisme pasar membuat masyarakat bingung. Sosialisasi hanya dilakukan di tingkat hulu saja, sementara masyarakat minim informasi.
"Nah, ini ditanggapi masyarakat, loh saya nggak tahu harga BBM naik, kok nggak disosialisasikan, hanya di tingkat hulu saja sosialisasinya antara pemerintah dan DPR," ujarnya.
Agus menjelaskan, pemerintah perlu cermat menjalankan kebijakan BBM yang telah dibuat dengan mengikuti mekanisme pasar. Menurutnya, ketika harga minyak dunia turun, tidak selalu harga BBM diturunkan. Hal ini untuk mengantisipasi tingginya harga minyak dunia. Saat harga minyak dunia tinggi, harga BBM di dalam negeri tidak melonjak drastis.
"Subsidi dihapus saja, naikkan saja, sekarang sudah berhasil naik, nah saat harga minyak dunia turun, nggak usah turun harga BBM. Jadi tahan untuk tabungan ketika harga naik. Kalau diturunkan Pertamina rugi, kalau rugi kan Pak Dwi diganti karena kan nggak boleh rugi, jadi saat harga minyak dunia turun, harga ditahan saja," kata Agus.
Menurutnya, saat harga BBM diturunkan tidak berpengarih signifikan terhadap harga-harga barang. Hal ini yang menjadi pertimbangan agar harga BBM tetap ditahan saat harga minyak dunia turun.
"Harga cabai, pembalut, kutang, nggak ada yang turun saat BBM turun, jadi lihat saja ketika harga naik ya naik lagi harga barang, yang menderita rakyat," pungkasnya.
(dtc/rhc)
Mulai 28 Maret, di Luar Jawa, Madura, Bali harga premium naik menjadi Rp 7.300 dari semula Rp 6.800 per liter dan solar menjadi Rp 6.900 semula Rp 6.400 per liter. Sementara di wilayah Jawa, Madura, dan Bali kenaikan harga premium ditetapkan Rp 7.400 per liter.
Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika menyebutkan, kenaikan harga BBM saat ini dinilai tidak tepat. Pemerintah tidak mempertimbangkan kenaikanharga barang-barang lainnya juga naik.
"Saat ini pemerintah tidak mempertimbangkan kepentingan rakyat, harga-harga naik kok tiba-tiba BBM dinaikkan, elpiji, listrik, berlomba-lomba naikkan harga, itu bukan solusi, tidak mikir, jadi harus mempertimbangkan," ujar Kardaya dalam diskusi Energi Kita di Restoran Bumbu Desa, Cikini, Jakarta, Minggu (29/3/2015).
Mantan Dirjen Energi Baru Terbarukan ESDM yang juga Mantan Kepala BP Migas itu mengungkapkan, pemerintah mestinya mulai sadar bahwa ada beberapa hal terkait kebijakan BBM yang tidak boleh diabaikan atau dilanggar, yaitu harus mempertimbangkan kepentingan rakyat.
"Di negara mana pun karena BBM komoditi hajat hidup orang banyak, pertimbangkan rakyat ini karena kepentingan rakyat, jadi harus transparan dan dan juga kepada wakilnya di DPR," ucapnya.
Pemerintah, kata Kardaya, harus tegas dalam menetapkan kebijakan harga BBM. Transparan menjadi hal yang harus diutamakan.
"Kebijakan BBM khususnya dan energi umumnya, itu harus konsisten dan tidak mencla-mencle. Pemerintah tidak transparan. Premium biaya harga keekonomian Rp 8.000, tapi pemerintah menetapkan Rp 7.400, selisihnya siapa yang nanggung. Hitung-hitung premium dari mana nombokinnya, perlu didiskusikan ke DPR, ditulis emas, mestinya transparan," tandasnya.
Sementara itu, pemerhati Kebijakan Publik Agus Pambagyo mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menyerahkan harga BBM mengikuti mekanisme pasar mengibaratkan seperti kebijakan harga produk 'sarung' naik-turun.
Kebijakan ini dianggap membingungkan masyarakat karena harga BBM bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu.
"Kebijakan harga BBM yang naik turun mengikuti kebijakan harga sarung, bisa naik bisa merosot," kata Agus di acara yang sama.
Menurutnya, kebijakan naik-turunnya harga BBM mengikuti mekanisme pasar membuat masyarakat bingung. Sosialisasi hanya dilakukan di tingkat hulu saja, sementara masyarakat minim informasi.
"Nah, ini ditanggapi masyarakat, loh saya nggak tahu harga BBM naik, kok nggak disosialisasikan, hanya di tingkat hulu saja sosialisasinya antara pemerintah dan DPR," ujarnya.
Agus menjelaskan, pemerintah perlu cermat menjalankan kebijakan BBM yang telah dibuat dengan mengikuti mekanisme pasar. Menurutnya, ketika harga minyak dunia turun, tidak selalu harga BBM diturunkan. Hal ini untuk mengantisipasi tingginya harga minyak dunia. Saat harga minyak dunia tinggi, harga BBM di dalam negeri tidak melonjak drastis.
"Subsidi dihapus saja, naikkan saja, sekarang sudah berhasil naik, nah saat harga minyak dunia turun, nggak usah turun harga BBM. Jadi tahan untuk tabungan ketika harga naik. Kalau diturunkan Pertamina rugi, kalau rugi kan Pak Dwi diganti karena kan nggak boleh rugi, jadi saat harga minyak dunia turun, harga ditahan saja," kata Agus.
Menurutnya, saat harga BBM diturunkan tidak berpengarih signifikan terhadap harga-harga barang. Hal ini yang menjadi pertimbangan agar harga BBM tetap ditahan saat harga minyak dunia turun.
"Harga cabai, pembalut, kutang, nggak ada yang turun saat BBM turun, jadi lihat saja ketika harga naik ya naik lagi harga barang, yang menderita rakyat," pungkasnya.
(dtc/rhc)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusJakarta, Aktual.com – Pemerintah dan pertamina didesak agar meenetapkan harga bahan bakar minyak (BBM) secara flat mulai bulan ini. Hal itu menyusul keruwetan tata niaga dan tata kelola BBM nasional sepertinya bukan semakin berkurang namun semakin bertambah.
BalasHapusDemikian disampaikan Direktur Eksekutif Energi Watch (EWI), Ferdinand Hutahaean dalam keterangan tertulisnya, yang diterima Aktual.com, di Jakarta, Senin (3/8).
Pemerintah Didesak Tetapkan Harga Flat BBM