Ini Dia sejarah, Mengapa Imlek Jadi Hari Libur Nasional

TAHUN Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai di hari pertama bulan pertama (Chinese: 正月; pinyin: zhēng yuè) di penaggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal ke lima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti “malam pergantian tahun”.

Imlek adalah tradisi pergantian tahun. Sehingga yang merayakan Imlek ini seluruh etnis Tiongha apapun agamanya, bahkan menurut Sidharta, Ketua Walubi, masyarakat Tiongha Muslim juga merayakan Imlek.

Asal-usul Imlek berasal dari Tiongkok. Hari Raya Imlek merupakan istilah umum, kalau dalam bahasa Cina disebut dengan Chung Ciea yang berarti Hari Raya Musim Semi. Hari Raya ini jatuh pada bulan Februari dan bila di negeri Tiongkok, Korea dan Jepang ditandai dengan sudah mulainya musim semi.

Adat ini kemudian di bawa oleh masyarakat Tiongha ke manapun dia merantau, termasuk ke Indonesia. Dulunya, pada masa Bung Karno, perayaan ini boleh dirayakan tapi ketika masa Orde Baru, perayaan Imlek dibatasi. Presiden Soeharto mengeluarkan SK yang isinya mengizinkan, namun dirayakan di tempat tertutup.

Pada era feformasi, terutama saat Gus Dur memimpin negeri ini, angin segar perubahan pun berhembus semilir. Hak-hak sipil warga Tionghoa untuk menjalankan kegiatan kesenian dan kebudayaannya kembali pulih. Bahkan hari raya Imlek dijadikan libur nasional. Gus Dur memang benar. Minoritas Tionghoa adalah bagian dari “kekitaan” sebagai sebuah bangsa. Mereka memperkaya khasanah keberagaman negeri ini.

Sejarah Imlek

Sebelum Dinasti Qin, tanggal perayaan permulaan sesuatu tahun masih belum jelas. Ada kemungkinan bahwa awal tahun bermula pada bulan 1 semasa Dinasti Xia, bulan 12 semasa Dinasti Shang, dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou di China. Bulan kabisat yang dipakai untuk memastikan kalendar Tionghoa sejalan dengan edaran mengelilingi matahari, selalu ditambah setelah bulan 12 sejak Dinasti Shang (menurut catatan tulang ramalan) dan Zhou (menurut Sima Qian). Kaisar pertama China Qin Shi Huang menukar dan menetapkan bahwa tahun tionghoa berawal di bulan 10 pada 221 SM. Pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun sampai sekarang.

Tahun Baru Imlek di Indonesia

Di Indonesia, selama 1965-1998, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.

Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid yang mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.

Masyarakat Tionghoa Indonesia bersyukur bahwa Imlek dijadikan hari besar nasional, sebagaimana dikemukakan Presiden Megawati Soekarnoputri ketika menghadiri perayaan Imlek 2553 di Hall A Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Minggu [17 Februari 2002].

Keputusan pemerintah ini tak terlepas dari perjuangan sebuah lembaga yang menamakan diri Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia (YLKTI) yang diketuai oleh Suhu Acai, pria yang selama ini dikenal sebagai paranormal, tinggal di kawasan Pluit, Jakarta Utara.

Awalnya, tanggal 17 Oktober 2000 YLKTI berkirim surat kepada Menteri Agama RI, intinya berharap agar pemerintah berkenan menjadikan Imlek menjadi hari besar/libur nasional. Tanggal 22 Januari 2001, Menteri Agama lewat surat nomor B.VI/2/BA.00/161/2002 memberikan jawaban bahwa berdasarkan kajian dan pertimbangan Menteri Agama yang disampaikan kepada Presiden RI (kala itu KH Abdurrahman Wahid), usulan YLKTI itu bisa disetujui bahwa Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).

Hal itu diperkuat dengan SK Menteri Agama No 13/2001 tanggal 19 Januari 2001 bahwa Imlek sebagai hari libur fakultatif selama satu hari bagi masyarakat Tionghoa di wilayah Indonesia. Hari dan tanggal Imlek ditetapkan dengan keputusan Menteri Agama RI berdasarkan masukan dari lembaga yang mewakili masyarakat Tionghoa Indonesia, termasuk dari YLKTI.

Menyusul kemudian keluar SK Menteri Agama No 14/2001 tanggal 23 Januari 2001 untuk menetapkan hari dan tanggal perayaan Imlek Tahun 2552. Pada SK ini disebutkan, memperhatikan surat Ketua Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia (YLKTI) No 059/YLKTI/I/2001 tanggal 19 Januari 2001, maka diputuskan bahwa hari libur fakultatif Imlek Tahun 2552 jatuh pada tanggal 24 Januari 2001.

Beberapa bulan kemudian, tanggal 23 Juli 2001, keluar SK Menteri Agama bahwa berdasarkan data yang dihimpun dari Ditjen Pembinaan Agama Islam, Ditjen Bimas Kristen, Ditjen Bimas Katolik, Ditjen Bimas Hindu dan Budha, dan Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia (YLKTI), ditetapkan hari-hari libur nasional, di antaranya adalah Imlek 2553 Tahun Cina yang jatuh pada tanggal 12 Februari 2002.

Bagaimana lika-liku perjuangan YLKTI untuk menggolkan keputusan pemerintah tersebut?

Suhu Acai dan Gus Dur

Pertengahan tahun 2000 silam, di sebuah rumah bernomor 35 di Jl Pluit Timur Raya, Jakarta Utara, yang diketahui sebagai tempat kediaman seorang paranormal keturunan Tionghoa: The Eng Tjai atau akrab disapa dengan Suhu Acai.

Setiap harinya, rumah berpagar rendah warna putih itu memang acap disambangi masyarakat–sebagian besar warga keturunan Tionghoa–yang ingin berobat atau sekadar berkonsultasi tentang masalah yang mereka hadapi.

Tak ada hal istimewa lain yang dapat dilihat lebih jauh mengenai rumah tersebut. Apalagi jika dibandingkan dengan rumah-rumah lainnya di kawasan itu, yang rata-rata berukuran lebih besar dan berdesain mewah dengan pagar-pagar tinggi yang kokoh melindungi kemewahan itu sendiri, rumah No 35 itu terkesan amat sederhana.

Kalaupun ada hal lain yang cukup menarik, adalah kegiatan ritual Tionghoa yang selalu dilakukannya pada waktu-waktu tertentu dalam setiap tahunnya. Setiap hari, sejak 1999, Suhu Acai, berpraktik melayani anggota masyarakat yang datang bersambang ke rumahnya.

Pada suatu ketika, di pertengahan 2000 silam, secara mendadak dalam kepala paranormal ini tebersit pemikiran tentang perlunya menangani kebudayaan Tionghoa di Indonesia secara komprehensif, seiring dengan bergulirnya semangat reformasi di tanah air.

Dari pemikiran itu, muncul ide membentuk sebuah yayasan yang kemudian diberi nama Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia, disingkat YLKTI. Ada banyak ide yang hendak dikembangkan lewat yayasan ini.

Salah satu yang diangankan adalah bagaimana agar masyarakat Tionghoa bisa merayakan Imlek seperti halnya masyarakat lain bisa merayakan hari-hari besar masing-masing. Pemikiran ini, agaknya, disemangati oleh keputusan pemerintah melalui Presiden Abdurrahman Wahid [kala itu] yang tertuang dalam Keppres No 06/2000 tentang tata cara pelaksanaan upacara keagamaan Cina. “Alangkah indahnya jika Imlek juga dinyatakan sebagai hari libur nasional,” kata Suhu Acai kala itu.

Dalam benak Suhu Acai, “Jika kebudayaan Tionghoa sudah dianggap sama dengan budaya lainnya yang ada di Indonesia–sehingga bisa muncul di muka umum–mengapa hari raya Imlek yang merupakan hari raya masyarakat Tionghoa juga tidak dianggap sama statusnya dengan hari besar lain yang ada di sini?”

Dari situlah, ide itu segera dilempar ke teman-teman yang kerap bertandang ke rumahnya. Mengingat gagasan itu akan sulit terwujud tanpa ada dukungan dari komunitas lain di luar Tionghoa, Suhu Acai mencari dukungan tak saja dari masyarakat Tionghoa, tapi juga ormas Islam, Budha, Hindu, Konghucu, dan ormas serta LSM lain. Gayung bersambut, tak kurang dari 136 LSM dan ormas memberikan dukungan.

Lebih dari itu, Suhu Acai juga getol menjalin lobi dengan para politikus di gedung DPR/MPR. Sejumlah kesibukan pun dilakukan para pengurus YLKTI untuk menggolkan Imlek menjadi hari besar dan hari libur nasional, di antaranya:

26 Oktober 2000: YLKTI bekerja sama dengan puluhan LSM dan ormas mengadakan seminar di Hotel Royal Jakarta bertema Mencari Dukungan agar Imlek Dijadikan Hari Libur Nasional.

27 November 2000: Pengurus YLKTI beraudensi dengan Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (F-KKI) DPR RI, diterima sekretaris fraksi Usmawan dan bendahara fraksi LT Sutanto. Usmawan mengatakan akan menyampaikan keinginan itu ke fraksi-fraksi lain di DPR, untuk bisa disampaikan ke pemerintah.

28 November 2000: Pengurus YLKTI beraudensi dengan Komisi VII DPR RI, diterima KH Hanief Musli Le dan Ahmad Mubazir Mahfud dari Fraksi Kebangkitan Bangsa.

5 Desember 2000: Pengurus YLKTI beraudensi dengan Fraksi PDIP, diterima Siti Soetami, Ismamun Notosaputra, AA Sagung Hartini, Rusman Lumban Tarwan, I Made Rajag, Anak Agung Sagung Hartini, dan Imam Suroso.

YLKTI juga beraudensi dengan pengurus Partai Demokrasi Kasih Bangsa, Golkar, dan Komisi VI. Selain itu, secara pribadi dalam berbagai kesempatan Suhu Acai juga bicara dengan Presiden [kala itu] KH Abdurrahman Wahid dan Wapres Megawati.

17 Desember 2000: Dihadiri Ketua MPR Amien Rais, YLKTI bersama puluhan LSM, ormas, tokoh agama, dan tokoh masyarakat melahirkan Deklarasi Sahid, di Hotel Sahid, Jakarta. Deklarasi itu melahirkan tiga butir pemikiran: Pertama, masyarakat Keturunan Tionghoa di Indonesia adalah juga anak bangsa yang mempunyai hak yang sama dan kewajiban yang sama sebagaimana warga negara Indonesia lainnya. Kedua, Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia (YLKTI) adalah pelopor pertama yang memperjuangkan Imlek supaya menjadi hari besar nasional/hari libur nasional. Ketiga, demi persatuan dan kesatuan anak bangsa, kami mengusulkan kepada Presiden Republik Indonesia agar tahun 2002 dan seterusnya hari raya Imlek dapat ditetapkan menjadi hari besar nasional/libur nasional.

Perjuangan YLKTI tidak sia-sia. Pemerintah memutuskan Hari Raya Imlek sebagai hari besar nasional dan hari libur nasional. Sehingga masyarakat keturunan Tionghoa di seantero Indonesia dapat merayakan dengan khusuk. [AR]

Komentar